Bagian 1 : Dia
Ini adalah sebuah sajak tanpa rima, tak ada rasa yang sama di ujung setiap kata.
Hampa juga ternyata, tapi, tetap saja Dia tulis dengan bangga, kata-kata yang tak bermakna apa-apa.
Sebenarnya, Dia dengan sadar dan sukarela, masih membuka mata nya untuk sekedar menahan lara.
Mendengarkan nada-nada berirama hingga menonton laga favorit nya.
Mulut berkali-kali menganga tanda tak kuat untuk tetap terjaga.
Semua rasa kantuk yang di dera nya, seakan tak ada apa-apa nya dengan apa yang Dia rasa.
Bagian 2 : Aku
Ini adalah sebuah sajak tanpa rima, harus ku selesaikan segera meski tak indah di pandang mata.
Seperti nya terlalu lama aku menunda, hingga aku tak sadar playlist lagu Thai mampir di beranda.
Tentu aku tak paham apa yang wanita ini nyanyi kan, tapi merdu juga walau tak ada yang bisa ku baca.
Kulanjutkan tulisan ku, yang belum ada setengah alinea, apalagi sebait sastra.
Aku tau kalau Aku tidak kemana-mana, duduk diam seakan tak bernyawa atau menghirup udara.
Dimana tumpangan yang ku tunggu di depan mata, apa sebenarnya tak pernah tercipta?
Bagian 3 : Kita
Ini adalah sebuah sajak tanpa rima, layak nya Kita, yang tak pernah bersuara sama.
Kita sama-sama mati rasa, dan memendam ekspektasi luar biasa.
Sanggup kah Kita berjalan setara sampai di penghujung sumber cahaya?
Atau Kita akan menjadi Kita, saja, tanpa pernah punya kesempatan tertawa bersama?
Hidup masing-masing di istana merdeka ciptaan Kita, yang tak pernah sama.
Lalu, apa yang masih Kita cari, jika berdiri saja tak bisa setegak para remaja?
Bagian 4 : Tidak Ada
Ini adalah sebuat sajak tanpa rima. Tidak Ada. Tidak Apa. Ada Apa.
Yogyakarta, 31 Oktober 2020
~ Koko